Rabu, 10 Agustus 2011

TB


Masalah tuberkulosis (TB) pada anak merupakan kasus yang sangat sulit untuk didiagnosis. Gejala yang muncul pada TB anak sangat tidak spesifik. Gejala-gejala seperti demam hingga turunnya berat badan tak selalu dapat dijadikan dasar dalam menegakkan diagnosa karena banyak penyakit yang memiliki gejala mirip seperti ini.

Selain itu, pemeriksaan TB yang memerlukan sampel dahak dari sang anak masih sulit diterapkan karena anak kecil sulit mengeluarkan dahak. Akibatnya, kesulitan dan keraguan dalam aspek diagnosis ini seringkali menimbulkan terjadinya over dignosis dan over treatment dalam penanganan TB anak.

Memperingati hari TB sedunia, Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (FKUI-RSCM) menggelar simposium mengenai TB pada anak. Pada kesempatan tesebut, dr.Nastiti Kaswandini,Sp.A menjelaskan sekelumit mengenai TB anak.

Nastiti menjelaskan, TB anak pada umumnya merupakan TB primer dari komplikasi kebanyakan yang terjadi di populasi masyarakat. TB anak sangat dipengaruhi oleh adanya kontak terhadap penderita TB. Jika imunitas seluler berhasil mengatasi kuman, maka tidak akan terjadi infeksi TB.
Gejala dan tanda klinis umum pada TB anak ini bervariasi seperti berat badan yang turun atau bobot anak sulit mengalami kenaikan tanpa sebab yang jelas. Gejala berkeringat pada malam hari  yang merupakan gejala penting sebagai penanda TB pada orang dewasa, tidak demikian halnya pada TB anak. 

Pada usia anak, berkeringat pada malam hari bisa diakibatkan oleh dikeluarkan dan berfungsinya hormon pertumbuhan (growth hormone). Sehingga, jika keringat malam hari merupakan satu-satunya gejala yang muncul, maka bukan berarti anak itu terkena TB.

Untuk kasus TB anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah mengeluarkan sistem skoring untuk mengatasi banyaknya overdiagnosis dari penyakit TB. Sistem penilaian  TB pada anak  juga dapat dilakukan di daerah-daerah terbatas peralatan diagnostiknya.

Jika skoring TB ini lebih dari 6, maka bisa dinyatakan TB. Penerapan ISTC (International Standard For Tuberculosis Care) untuk diagnosis TB pada anak juga dilakukan.

Yang juga perlu diperhatikan adalah kemoprofilaksis TB sehingga anak tidak datang pada kondisi yang berat. Pada orangtua yang menderita TB dan menjalani pengobatan, maka pada anak sebaiknya dilakukan pengobatan pencegahan agar sang anak tidak ikut terinfeksi.

Hal ini penting karena infeksi TB pada pasien dewasa dengan pemeriksaan BTA positif  dapat menularkan TB pada anak sebesar 65 persen. Jika menemukan pasien anak, dokter diharapkan untuk mewaspadai dan mencari siapa sumber TB nya.

Profilaksis harus benar-benar yakin sebelum memberikan obat, karena jika kita hanya memberikan satu obat saja pada TB aktif, maka akan terjadi fenomena "fall and rise" dikarenakan terjadi resistensi dan mutasi kuman.

Pada negara yang mempunyai kecenderungan pola resistensi kuman dengan multi obat dilakukan profilaksis dengan dua obat. Kecuali bila pasien anak yang orangtuanya ternyata resistensi terhadap obat-obat TB maka biasanya dilakukan profilaksis dengan dua obat.

Tanggal 24 Maret sebagai Hari Tuberkulosis Sedunia sebab Dr Robert Koch berhasil mengenali bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagai kuman penyebab penyakit tuberkulosis.

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sudah sangat tua, bahkan sangat mungkin lebih tua daripada sejarah manusia itu sendiri.

Gambaran adanya TB telah ada sejak lama, misalnya dalam salah satu tokoh cerita The Hunchback of Notre Dame yang terkenal karya sastrawan besar Victor Hugo. Di dalam piramida Mesir kuno juga ditemukan gambar relief manusia bongkok yang kemungkinan besar menderita TB tulang belakang atau gibbus pada spondilitis TB. Tidak hanya itu, juga ditemukannya kuman TB pada sebagian mumi Mesir dan sebagian fosil dinosaurus.

Sepanjang dasawarsa terakhir pada abad ke-20, jumlah kasus baru TB meningkat di seluruh dunia, di mana 95 persen kasus terjadi di negara berkembang. Di Indonesia, TB masih merupakan masalah besar, bahkan Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai penyumbang kasus TB terbanyak di dunia.

Pada anak, TB secara umum dikenal dengan istilah "flek paru-paru". TB pada anak juga mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa, baik dalam aspek diagnosis, pengobatan, pencegahan, maupun TB pada kasus khusus, misalnya pada anak dengan infeksi HIV.

Dalam praktik klinis harian untuk TB pada anak, sering kali terjadi kesulitan dan keraguan dalam aspek diagnosis, pengobatan, dan penghentian pengobatan. Sebagai akibatnya, dalam banyak kasus dikatakan anak "flek paru-paru" yang sebenarnya dapat dikatakan terjerumus dalam pitfalls (lubang perangkap). Ini berarti terjadi "kekeliruan" dalam proses diagnosis dan/atau terapi, yang oleh karena seringnya hal tersebut terjadi, justru seolah dianggap benar (salah kaprah).

Salah kaprah

Salah kaprah biasanya dimulai dengan bias interpretasi terhadap gejala klinis anak yang dikeluhkan oleh orangtua. Batuk merupakan gejala utama infeksi TB pada paru-paru, yaitu batuk yang berlangsung lama (kronis), berdahak yang kadang bercampur dengan darah karena ada pembuluh darah di paru yang pecah. Gambaran tersebut nyata hanya pada pasien TB paru dewasa, sedangkan pada pasien anak infeksi TB jarang menyebabkan batuk. Batuk lama dan berulang pada anak justru lebih sering disebabkan asma, bukan TB.

Badan berkeringat pada malam hari juga merupakan gejala klinis yang sering mengkhawatirkan orangtua. Keringat malam sebenarnya merupakan gejala klinis yang penting pada pasien TB dewasa. Produksi keringat pada malam hari pada saat tidur nyenyak biasanya disebabkan oleh peningkatan metabolisme basal tubuh (basal metabolic rate). Pada infeksi TB dewasa terjadi peningkatan tersebut sehingga keluhan keringat malam pasti sering dijumpai.

Sebaliknya, peningkatan metabolisme basal pada anak lebih sering disebabkan karena dikeluarkannya dan berfungsinya hormon pertumbuhan (growth hormone) pada malam hari. Hormon ini sudah tidak dikeluarkan dalam jumlah bermakna pada orang dewasa sehingga hanya ditemukan pada anak yang mengalami pertumbuhan, terutama pada malam hari (sircadian cycle). Itulah yang menyebabkan anak sering berkeringat saat tidur malam, bahkan pada saat tidur di ruang ber-AC yang orangtuanya justru sudah kedinginan dan berselimut tebal.

Nafsu makan

Nafsu makan anak yang tidak baik merupakan keluhan yang sangat sering disampaikan oleh orangtua yang takut akan "flek paru-paru" (phobia flek). Keluhan ini disebabkan oleh berbagai hal, baik bersifat medis, psikologis, sosial, maupun salah kaprah. Hampir semua penyakit pada anak akan menurunkan nafsu makan, tidak hanya dan bukan satu-satunya akibat TB.

Variasi, rasa, dan tampilan menu makanan secara psikologis juga akan memengaruhi selera makan anak. Begitu juga suasana rumah, hubungan antaranggota keluarga, dan masalah sosial lain, bahkan termasuk persepsi orangtua yang keliru tentang nafsu makan anak, sangat berpengaruh dalam tinggi rendahnya nafsu makan mereka.

Penyakit saluran cerna, baik sariawan, sakit gigi, gangguan pencernaan, bahkan cacingan, perlu juga dipikirkan sebagai salah satu penyebab terganggunya nafsu makan anak, sebelum pelacakan TB dimulai.

Demam ringan lama yang biasanya bersifat demam ringan atau subfebris (Jw: semlenget), dapat disebabkan oleh adanya infeksi di organ apa pun, tidak hanya "flek paru-paru" dan stadium awal penyakit kanker (keganasan). Memang, TB harus dipikirkan sebagai penyebab utama, tetapi penyakit lain yang cukup sering terjadi pada anak seperti tifus, amandel (tonsilitis), congek (otitis media), sinusitis, ataupun infeksi saluran kencing juga harus dipikirkan dan kalau perlu diperiksa terlebih dahulu.

Benjolan di leher, yang merupakan pembesaran kelenjar limfa dan sering disamakan dengan tanda "flek paru-paru", seharusnya perlu dibedakan antara "teraba" dan "membesar". Kelenjar itu dikatakan membesar bila diameternya di atas 1 sentimeter, sedangkan kalau di bawah 1 sentimeter harus dianggap teraba, yang biasanya disebabkan oleh batuk pilek berulang atau alergi, dan sering kali disertai pembesaran amandel. Benjolan di leher yang mengarah ke TB sebenarnya cukup khas sebab akan teraba besar, bergerombol, tidak nyeri saat ditekan, dan saling melekat.

Pemeriksaan penunjang medis yang sering dilakukan untuk mendiagnosis TB pada anak meliputi pemeriksaan foto rontgen dada, uji tuberkulin atau Mantoux, laju endap darah, limfositosis, dan serologi.

Meskipun pemeriksaan tersebut dapat dilakukan di hampir semua fasilitas kesehatan, sebenarnya nilai atau bobot diagnostik untuk TB tidaklah tinggi. Bahkan, pada pasien TB anak semuanya hampir tidak khas karena dapat dipengaruhi oleh banyak aspek nonmedis dan dapat menyebabkan salah interpretasi.

Oleh sebab itu, pada kasus yang meragukan, semakin banyak pemeriksaan yang dilakukan dan menunjukkan hasil positif, tentunya akan semakin mengecilkan kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis. Demikian juga sebaliknya.

Pasien TB dewasa lebih mudah didiagnosis sebab ada sebuah pemeriksaan penunjang medik yang obyektif dan dapat dijadikan baku emas (gold standard) diagnosis TB. Pemeriksaan tersebut adalah menemukan bakteri TB pada pemeriksaan dahak (BTA positif pada sputum).

Pengeluaran dahak sebagai bahan yang akan diperiksa di laboratorium bukan hal mudah yang dapat dilakukan anak, apalagi anak kecil. Tanpa bukti adanya bakteri TB dalam pemeriksaan mikroskopis, diagnosis TB akan semakin terbuka kemungkinan untuk diragukan.

Dengan memahami "salah kaprah" (pitfalls) tentang TB pada anak, seperti diuraikan di atas, dokter, dan orangtua atau keluarga pasien dapat saling mengingatkan sehingga tidak terjerumus dalam overdiagnosis dan overtreatment TB yang tidak perlu.

ISPA


Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran pernapasan bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah. ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik dinegara berkembang maupun dinegara maju dan sudah mampu. dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya.
Secara anatomis yang termasuk Infeksi saluran pernapasan akut :
  • ISPA atas : Rinitis, faringitis,Otitis
  • ISPA bawah : Laringitis , bronchitis, bronkhiolitis, pneumonia.
Biasanya bakteri dan virus dapat menyerang anak-anak yang kekebalan tubuhnya lemah, misalnya pada saat perubahan musim panas ke musim hujan. Bentuk saluran pernapasan bagian atas pada anak-anak berbeda dibandingkan dengan orang dewasa, yaitu bentuk lidah pada anak lebih besar, “nasofaring” dan “orofaring” atau ruang yang menghubungkan antara hidung dan mulutrelatif pendek dan sempit.
Sehingga apabila terjadi peradangan yang disertai demam, pembengkakan pada jaringan tertentu hingga berwarna kemerahan, rasa nyeri dan gangguan fungsi karena bakteri dan virus di daerah tersebut maka kemungkinan peradangan menjadi parah semakin besar dan cepat.
Infeksi pada saluran pernapasan tersebut, dapat menjalar ke paru-paru, dan menyebabkan sesak atau pernapasan terhambat, oksigen yang dihirup berkurang, anak menjadi kejang bahkan bila tidak segera ditolong bisa menyebabkan kematian.
Gejala ISPA pada anak dapat dikenali, yaitu
  • flu
  • batuk
  • demam dan suhu tubuh anak meningkat lebih dari 38,5 derajat celsius dan
  • disertai sesak nafas.
Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang tua tidak memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit pada tenggorokan, misalnya minuman dingin, makanan yang mengandung vetsin atau rasa gurih, bahan pewarna, pengawet dan makanan yang terlalu manis.
Bersin, batuk yang dahak dan ingus atau lendir yang ke luar dari hidung sebenarnya merupakan salah satu bentuk pertahanan tubuh untuk melawan bakteri dan kuman yang masuk ke dalam saluran pernapasan.
Batuk dan bersin merupakan mekanisme kerja bulu-bulu halus yang berada di permukaan saluran pernapasan di hidung dan tenggorokan melawan debu, bakteri dan virus yang masuk supaya keluar dari tubuh.
Apabila batuk juga disertai lendir atau sputum (dahak) yang berwarna hijau dan kental, hal itu menandakan terjadi infeksi di dalam saluran tersebut.
Penanganan ISPA pada anak
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA.
  • Mengatasi panas (demam). Untuk anak usia 2 bulan samapi 5 tahun demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
  • Mengatasi batuk. Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali sehari.
  • Pemberian makanan. Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.
  • Pemberian minuman. Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.
  • Lain-lain. Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap.
Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali kepetugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang
Pencegahan dan Pemberantasan
Pencegahan dapat dilakukan dengan :
• Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.
• Immunisasi.
• Menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan.
• Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.

Senin, 23 Mei 2011

Atresia Ani


Atresia ani (malformasi anorektal/anus imperforate) adalah bentuk kelainan bawaan yang menunjukan keadaan tidak ada anus, atau tidak sempurnanya bentuk anus.
Bentuk-bentuk kelainan atresia ani:
• Lubang anus sempit atau salah letak di depan tempat semestinya.
• Terdapat selaput pada saat pembukaan anus sehingga mengganggu proses pengeluaran feses
• Rektum (saluran akhir usus besar) tidak terhubung dengan lubang anus.
• Rektum terhubung dengan saluran kemih (kencing) atau sistem reproduksi melalui fistula (lubang), dan tidak terdapat pembukaan anus.
Faktor penyebab terjadinya atresia ani belum diketahui secara pasti:
• Secara pasti belum diketahui
• Merupakan (kegagalan perkembangan) anomaly gastrointestinal (sistem pencernaan) dan genitourinary (sistem perkemihan)
• Kelainan kloaka pada saat embrionik
• Gangguan pertumbuhan fusi dan pembentukkan anus dari tonjolan embrionik
• Pada atresia anus, diduga ada keterlibatan kelainan genetik pada kromosom 21
Kelainan bentuk anus akan menyebabkan gangguan buang air besar.
- Ketika lubang anus sempit, bayi kesulitan BAB menyebabkan konstipasi dan ketidaknyamanan.
- Jika terdapat selaput pada akhiran jalan keluar anus, bayi tidak bisa BAB.
- Ketika rektum tidak berhubungan dengan anus tetapi terdapat fistula, feses akan keluar melalui fistula tersebut sebagai pengganti anus. Hal ini dapat menyebabkan infeksi.
- Jika rektum tidak berhubungan dengan anus dan tidak terdapat fistula sehingga feses tidak dapat dikeluarkan dari tubuh dan bayi tidak dapat BAB.
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani atau anus imperforata terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah kelahiran. Gejala itu dapat berupa:
1. Perut kembung
2. Muntah (cairan muntahan berwarna hijau karena cairan empedu atau berwarna hitam kehijauan )
3. Bayi tidak bisa buang air besar
4. Tidak ada atau tampak kelainan anus

Penatalaksanaan Medis
• Kolostomi (pembuatan lubang anus di bagian perut)
• Dilatasi Anal (pelebaran lubang anus)
• Eksisi membran anal (pelepasan selaput anus)
• Anoplasty (perbaikan organ anus)
Penatalaksanaan Non Medis
Toilet Training
Dimulai pada usia 2-3 tahun.
Menggunakan strategi yang sama dengan anak normal.
Bowel Management
Menjaga kebersihan kantung kolostomi, meliputi enema/irigasi kolon satu kali sehari untuk membersihkan kolon.
Diet makanan termasuk pengaturan asupan laktasi (ASI)
Penanganan secara preventif antara lain:
1. Kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk berhati-hati terhadap obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang dapat menyebabkan atresia ani.
2. Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
3. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi.

Daftar pustaka
Staf pengajar ilmu kesehatan anak. (1985). Buku kuliah 1: Ilmu kesehatan anak. Jakarta: EGC.
Suriadi, Skp. & Yulianti , Rita, Skp. (2001). Buku pegangan praktek klinik: Asuhan keperawatan pada anak. Edisi 1. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Wong, D. L. (1995). Nursing care of infant and children. 5th ed. St.louis: Mosby Year Book, Inc.
Wong, D. L. (1996). Clinical manual of pediatric nursing. 4th ed. St.louis: Mosby Year Book, Inc.
Wong, D. L., Eaton, M.H. (2001). Essentials of pediatric nursing. 6th ed. St.louis: Mosby Year Book, Inc.

obstruksi biliaris


Pengertian
Obstruksi biliaris, yaitu timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Pada bayi lahir tida terjadi obstruksi biliaris, melainkan ikterus, karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah.
Ikterus adalah keadaan teknis dimana ditemukannya warna kuning pada kuliat dan mukosa yang disebabkan oleh pigmen empedu.
Pada bayi baru lahir sering disebabkan inkompabilitas faktor Rh atau golongan darah ABO antara ibu dan bayi atau karena defisiensi GGPO pada bayi.

 Metabolisme Bilirubin
Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem retikulo endotelial. Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi daripada bayi yang lebih tua.
2. Transportasi
Bilirubin di transper melalui sel ke dalam hepatosit, sedangkan albumin tidak
3. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian di konjugasi menjadi bilirubin diglukosonide. Walaupun ada sebagan kecil dalam bentuk monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi di glokoronode terjadi di membran kanilikulus.
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu. Kemudian ke usus, dalam usus bilirubin direk ini tidak di absorpsi, sebagian kecil bilirubin dehidrolisis menjadi bilirubin indirek dan di reabsorpsi
5. Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus
Produksi bilirubin pada petus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas.

Patofisiologi pada Ikterus
1. Ikterus Fisiologis
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah sebesar 1 – 3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam, dengan demikian ikterus baruu terlihat pada hari ke 2 – 3, biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2 – 4 dengan kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl.
Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan penemuan klink dan laboratorium. Pada umumnya untuk menentukan penyebab ikterus jika :
1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan;
2. Bilirubin serum meningkat dengan jecepatn lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam;
3. Kadar bilirubin serum lebi besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari 14 mg/dl pada bayi preterm;
4. Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan; dan
5. Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl.

2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis mungkin merupakan petunjuk penting untuk diagnosis awal dari banyak penyakit neonatus. Ikterus patologis dalam 36 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan oleh produksi bilirubin. Ikterus neonatorum dalam biasanya disebabkan oleh penyakit hemolitik.

Tanda dan Gejala Ikterus
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor :
1. Produksi yang berlebihan;
2. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar;
3. Gangguan transportasi; dan
4. Gangguan dalam ekskresi.

Penatalaksanaan
1. Pendekatan Menentukan Kemungkinan Penyebab
A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
- Ikterus darah Rh, ABO atau golongan lain;
- Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain;
- Infeksi intrauterin; dan
- Kadang-kadang oleh defisiensi.
Pemeriksaan yang perlu diperhatikan :
- Kadar bilirubin serum berkala;
- Darah tepi lengkap;
- Golongan darah ibu dan bayi;
- Uji coombs; dan
- Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim.
B. Ikterus yang timbul 24 – 72 jam setelah lahir
- Biasanya ikterus fisiologis; dan
- Inkompatibilitas darah ABO arau Rh.
C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam sampai akhir minggu pertama
- Biasanya karena infeksi;
- Dehidrasi asidosis;
- Defisiensi enzim;
- Pengaruh obat;
- Sindrom criggler – najjar; dan
- Sindrom gilbert
D. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
- Biasanya karena obstruksi;
- Hipotiroidisme;
- “Breast milk jaundice”;
- Infeksi;
- Neonatal hepatis; dan
- Galaktosa
Pemeriksaan yang perlu dilakukan
- Pemeriksaan bilirubin;
- Pemeriksaan darah tepi; dan
- Pemeriksaan penyaring.

2. Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
1. Pengawasan yang baik;
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi, pada masa kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, nevobiosin, oksitosin, dan lain-lain;
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus;
4. Penggunaan fenobarbitas pada ibu 1 – 2 hari sebelum partus;
5. Illuminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir;
6. Pemberian makanan yang dini; dan
7. Pencegahan infeksi.

6. Perawatan
Pemberian Terapi Sinar
1. Bayi diletakkan di bawah lampu terapi sinar
a. Bila berat badan bayi 2000 gram atau lebih, letakkan bayi dalam keadaan telanjang di boks bayi;
b. Tutup mata bayi dengan penutup, pastikan penutup mata tidak menutupi lubag hidung.
2. Letakkan bayi sedekat mungkin dengan lampu sesuai dengan petunjuk
3. Ubah posisi bayi tiap 3 jam
4. Pastikan bayi diberi minum
a. Anjurkan ibu menyusui bayi setiap 3 jam;
• alat terapi sinar dan lepas penutup matanya selama diberi minum;
• Tidak perlu menambah atau mengganti ASI dengan AIR dekserosa atau formula;
b. Bila bayi tidak dapat menyusui, berikan ASI peras dengan menggunakan cara alternatif selama dilakukan terapi sinar, naikkan kebutuhan hariannya dengan menambah 25 ml/kg BB;
c. Bila bayi diberi minum melalui NGT bayi tidak perlu dipindahkan dari lampu terapi sinar.
5. Selama dilakukan terapi sinar, feses bayi menjadi cair dan berwarna kuning.