Jumat, 20 Mei 2011

POLIOMYELITIS AKUT (Polioviral fever, Infantile paralysis)


Identifikasi
      Infeksi viral yang sering dikenal dengan nama flaccid paralysis akut. Infeksi virus polio terjadi didalam saluran pencernaan yang menyebar  ke kelenjar limfe regional sebagian kecil menyebar ke sistem saraf. Flaccid paralysis terjadi pada kurang dari 1% dari infeksi poliovirus. Lebih dari 90% infeksi tanpa gejala atau dengan demam tidak spesifik. Meningitis aseptik muncul pada sekitar 1% dari infeksi. Gejala klinis minor berupa demam, sakit kepala, mual dan dan muntah. Apabila penyakit berlanjut ke gejala mayor, timbul nyeri otot berat dan kaku kuduk dan punggung dan dapat terjadi flaccid paralysis.  Karakteristik paralisis pada poliomyelitis  adalah asimetris dengan demam terjadi pada awal serangan.  Tingkat kelumpuhan yang maksimum dicapai dalam waktu relatif pendek, biasanya dalam waktu 3-4 hari. Lokasi kelumpuhan tergantung lokasi kerusakan sel saraf pada sumsum tulang belakang atau batang otak. Kaki  lebih sering terkena dibanding lengan. Paralisis dari otot pernafasan dan atau otot menelan akan membahayakan jiwa.  Perbaikan paralisis dapat ditemui pada periode penyembuhan, namun apabila paralisis tetap ada setelah 60 hari kemungkinan paralisis akan menetap. Kadang-kadang walaupun jarang kelemahan otot dapat muncul kembali setelah sembuh dari sakit, beberapa tahun setelah infeksi (sindroma post polio); hal ini bukan karena virus polio masih ada didalam tubuh penderita.
      Di negara endemis tinggi, kasus polio yang sangat khas dapat dikenal secara klinis. Di negara dimana polio tidak ada atau terjadi  pada tingkat prevalensi yang rendah, poliomyelitis harus dibedakan dengan paralisis lain dengan melakukan isolasi virus dari tinja. Enterovirus lain (tipe 70 dan 71), echovirus dan coxackievirus  dapat menyebabkan kesakitan menyerupai paralytic poliomyelitis.
      Penyebab paling sering dari AFP yang harus dibedakan dengan poliomyelitis adalah Guillain Barre Syndrome (GBS). Paralisis dari GBS secara khas adalah simetris dan dapat berlanjut selama 10 hari. Demam, sakit kepala, mual, muntah dan pleocytosis. Karakteristik dari polimyelitis biasanya tidak ditemukan pada GBS, protein tinggi dan jumlah hitung sel yang rendah pada cairan LCS serta perubahan sensorik pada sebagian besar kasus ditemukan pula pada GBS. Acute motor neuropathy (China paralytic syndrome) merupakan penyebab AFP di Cina bagian Utara dan kemungkinan juga ditemukan di tempat lain; muncul sebagai KLB musiman dan sangat mirip dengan poliomyelitis. Demam dan pleocytosis LCS biasanya tidak ada, tetapi paralisis dapat menetap untk beberapa bulan. Penyebab penting lain dari AFP antara lain transverse myelitis, traumatic neuritis, neuropathy toksik atau neuropati infeksius, tick paralysis, myasthenia gravis, pophyria, botulisme, keracunan insektisida, polymyositis, trichinosis dan periodic paralysis.
      Diagnosa banding dari acute nonparalytic poliomyelitis antara lain berbagai bentuk meningitis non bakterial akut, meningitis purulenta, abses otak, meningitis tuberkulosa, leptospirosis, lymphocytic choriomeningitis, infectious mononucleosis, encephalitides, neurosyphilis dan toxic encephalopathy.
      Kepastian diagnosa laboratorium ditegakkan dengan isolasi virus dari sampel tinja, sekresi oropharyng dan LCS pada sistem kultur sel dari manusia atau monyet (primate cells). Diferensiaasi dari virus liar dengan strain virus vaksin dapat dilakukan di laboratorium khusus. Diagnosa presumtif dibuat dengan adanya peningkatan titer antibodi empat kali lipat atau lebih, namun neutralizing antibodies spesifik mungkin sudah muncul begitu kelumpuhan terjadi, sehingga kenaikan titer antibodi yang bermakna  pada pasangan sera mungkin belum muncul.  Respons antibodi setelah pemberian imunisasi sama dengan respons antibodi sebagai akibat infeksi virus polio liar. Oleh karena pemakaian vaksin polio yang berisi virus hidup sangat luas, maka interpretasi terhadap respons antibodi menjadi sulit apakah karena disebabkan virus vaksin ataukah virus liar. Kecuali untuk mengesampingkan diagnosa polio pada anak-anak dengan immunocompetent  namun tidak terbentuk antibodi.
2.   Penyebab penyakit
      Poliovirus (genus enterovirus) tipe 1, 2 dan 3; semua tipe dapat menyebabkan kelumpuhan. Tipe 1 dapat diisolasi dari hampir semua kasus kelumpuhan, tipe 3 lebih jarang demikian pula tipe 2 paling jarang. Tipe 1 palng sering menyebabkan wabah. Sebagian besar kasus vaccine associated disebabkan oleh tipe 2 dan 3.
3.   Distribusi penyakit
      Sebelum program imunisasi polio dilakukan secara luas, polio ditemukan tersebar di seluruh dunia. Sebagai hasil dari Program Pengembangan Imunisasi (Expanded Programme on Immunization) yang dilaksanakan di seluruh dunia ditambah dengan inisiatif WHO untuk melakukan eradikasi polio di seluruh dunia, jumlah kasus polio yang dilaporkan menurun secara drastis. Penderita polio terakhir yang dilaporkan disebabkan oleh virus liar indigeneous di belahan bumi bagian barat adalah di Peru pada bulan Agustus tahun 1991. Polio sudah sangat dekat memasuki tahap eradikasi. Risiko penularan polio sangat ini masih ditemukan di anak benua India, Afrika Tengah dan Afrika bagian Barat. Negara-negara Afrika yang tercabik-cabik oleh perang dimana infrastruktur pelayanan kesehatan hancur mempunyai risiko terjadinya wabah polio. WHO menetapkan tahun 2000 sebagai tahun tercapainya eradikasi polio global. Namun para ahli berpendapat bahwa diperlukan beberapa tahun lagi setelah tahun 2000 untuk mencapai eradikasi polio secara global.
Walaupun transmisi virus polio liar di negara-negara maju sudah menurun secara drastis namun ancaman terjadinya KLB polio masih tetap ada. Sebagai contoh pada tahun 1992-1993  terjadi KLB polio di Belanda yang menimpa kelompok-kelompok keagamaan yang menolak diberikan imunisasi. Virus polio juga ditemukan pada kelompok keagamaan yang sama di Kanada, namun tidak ditemukan adanya kasus polio klinis. Kasus polio ditemukan di negara maju yang menyerang orang-orang yang belum pernah diimunisasi yang mengadakan perjalanan ke negara endemis. Kasus polio di negara maju ditemukan di kalangan imigran yang tidak pernah mendapatkan imunisasi setelah pulang dari mengunjungi tanah leluhur mereka. Kasus polio lain yang ditemukan di negara maju umumnya vaccine related, yaitu yang disebabkan oleh virus vaksin. Di AS setiap tahun dilaporkan 5-10 penderita polio yang disebabkan oleh virus vaksin. Hal ini dimungkinkan oleh karena vaksin polio yang dipakai sebagian besar adalah vaksin polio yang berisi virus hidup (OPV). Separuh dari kasus polio yang disebabkan oleh virus vaksin ini terjadi pada orang dewasa oleh karena kontak dengan orang yang telah mendapatkan vaksinasi.
Di daerah endemis, kasus polio muncul secara sporadis ataupun dalam bentuk KLB. Jumlah penderita meningkat pada akhir musim panas dan pada saat musim gugur di daerah beriklim dingin. Di negara-negara tropis, puncak musiman terjadi pada saat musim panas dan musim hujan, namun jumlah kasus tidak begitu banyak.
Polio masih merupakan penyakit yang menyerang bayi dan anak-anak. Disebagian besar negara endemis 70-80% penderita polio berusia dibawah 3 tahun, dan 80-90% berusia dibawah 5 tahun. Mereka yang mempunyai risiko tinggi tertulari adalah kelompok rentan seperti kelompok-kelompok yang menolak imunisasi, kelompok minoritas, para migran musiman, anak-anak yang tida terdaftar, kaum nomaden, pengungsi dan masyarakat miskin perkotaan.
4.   Reservoir
      Manusia satu-satunya reservoir dan sumber penularan biasanya penderita tanpa gejala (inapparent infection) terutama anak-anak. Belum pernah ditemukan adanya carrier virus liar yang berlangsung lama Ilihat uraian di bawah).
5.   Cara-cara penularan
      Penularan terutama terjadi dari orang ke orang melalui rute oro-fekal; virus lebih mudah dideteksi dari tinja, dalam jangka waktu panjang dibandingkan dari sekret tengorokan. Di daerah dengan sanitasi lingkungan yang baik, penularan terjadi melalui sekret faring daripada melalui rute orofekal. Walaupun jarang, susu, makanan dan barang-barang yang tercemar dapat berperan sebagai media penularan. Belum ada bukti serangga dapat menularkan virus polio. Air dan limbah jarang sekali dilaporkan sebagai sumber penularan.
6.   Masa inkubasi: Umumnya 7-14 hari untuk kasus paralitik, dengan rentang waktu antara 3-35 hari.
7.   Masa penularan
      Tidak diketahui dengan tenpat, namun penularan dimungkinkan tetap terjadi sepanjang virus masih dikeluarkan melalui tinja. Virus polio dapat ditemukan didalam sekret tenggorokan dalam waktu 36 jam dan pada tinja 72 jam setelah terpajan dengan infeksi baik dengan penderita klinis maupun dengan kasus inapparent. Virus tetap dapat ditemukan pada tenggorokan selama 1 minggu dan didalam tinja 3-6 minggu atau lebih. Penderita polio sangat menular selama beberapa hari sebelum dan beberapa hari sesudah gejala awal.
8.   Kerentanan dan kekebalan
      Semua orang rentan terhadap infeksi virus polio, namun kelumpuhan terjadi hanya sekitar 1% dari infeksi. Sebagian dari penderita ini akan sembuh dan yang masih tetap lumpuh berkisar antara 0,1% sampai 1%. Angka kelumpuhan pada orang-orang dewasa non imun yang terinfeksi lebih tinggi dibandingkan dengan anak dan bayi yang non imun. Kekebalan spesifik yang terbentuk bertahan seumur hidup, baik sebagai akibat infeksi virus polio maupun inapparent. Serangan kedua jarang terjadi dan sebagai akibat infeksi virus polio dengan tipe yang berbeda. Bayi yang lahir dari ibu yang sudah diimunisasi mendapat kekebalan pasif yang pendek. Injeksi intramuskuler, trauma atau tindakan pembedahan selama masa inkubasi atau pada saat muncul gejala prodromal dapat memprovokasi terjadinya kelumpuhan pada ekstremitas yang terkena. Tonsilektomi meningkatkan risiko terkenanya saraf bulber. Aktivitas otot berlebihan pada periode prodromal dapat menjadi pencetus untuk terjadinya kelumpuhan.
9.   Cara-cara penanggulangan        
A.   Cara-cara pencegahan
1)   Berikan penyuluhan kepada masyarakat tentang manfaat pemberian imunisasi sedini mungkin semasa anak-anak.
2)   Sejak akhir tahun 1999, kedua jenis vaksin baik vaksin trivalen hidup orang yang berisikan virus hidup yang dilemahkan (attenuated) (OPV) maupun vaksin suntikan yang berisikan virus polio mati (IPV) bisa didapat secara komersial. Pemakaian kedua jenis vaksin ini di berbagai negara berbeda-beda.
      Vakson oral polio (OPV) menirukan infeksi alamiah yang terjadi di alam. OPV merangsang pembentukan antibodi baik antibodi di dalam darah maupun antibodi lokal pada jonjot (vili) usus. Disamping itu virus yang ada pada OPV dapat mengimunisasi orang-orang di sekitarnya dengan cara penyebaran sekunder. Di negara-negara berkembang dilaporkan bahwa angka serokonversi rendah dan vaccine efficacy menurun. Namun hal ini dapat diatasi dengan pemberian dosis tambahan melalui kampanye.
Pada pemberian air susu ibu tidak menyebabkan pengurangan yang bermakna terhadap daya lindung yang diberikan oleh OPV. WHO merekomendasikan untuk memakai OPV saja dalam program imunisasi di ngara berkembang oleh karena murah, mudah pemberiannya dan mempunyai kemampuan yang tinggi dalam memberikan imunitas pada masyarakat.
IPV seperti halnya OPV dapat memberikan perlindungan kepada individu bagus sekali dengan merangsang  pembentukan antibodi  dalam darah yang memblokir penyebaran virus ke sistem saraf pusat. Baik OPV maupun IPV kedua-duanya merangsang pembentukan kekebalan intestinal. Banyak negara maju berpindah ke pemakaian IPV saja untuk imunisasi rutin, setelah terbukti jelas selama beberapa tahun virus polio liar telah tereliminasi. Lima orang dengan gangguan imunodefisiensi primer diketahui secara terus-menerus  mengeluarkan virus yang berasal dari OPV pada kotorannya selama 4 sampai 7 tahun lebih. Makna dari temuan ini adalah dalam rangka pertimbangan akan kemungkinan pada suatu saat untuk menghentikan imunisasi polio. Beberapa penelitian sedang dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya kejadian serupa di negara-negara berkembang.
3)   Rekomendasi untuk imunisasi rutin:
Dari tahun 1962 sampai dengan tahun 1997, OPV merupakan vaksin pilihan utama untuk imunisasi rutin di Amerika Serikat. Pada bulan Januari tahun 1997, CDC Atlanta merekomendasikan pemberian IPV pada umur 2 dan 4 bulan dan OPV pada umur 12-18 bulan dan umur 4-6 tahun. Berlaku efektif sejak bulan Januari tahun 2000, semua anak di Amerika Serikat harus menerima 4 dosis IPV berturut-turut pada umur 2 bulan, 4 bulan, 6-18 bulan dan umur 4-6 tahun. OPV hanya dipakai pada keadaan khusus seperti berikut ini: (1) Imunisasi massal untuk menanggulangi KLB polio paralitik; (2) Untuk anak yang belum diimunisasi yang akan melakukan perjalanan kurang dari 4 minggu ke suatu wilayah dimana polio merupakan penyakit endemis; dan (3) Anak dari orang tua yang tidak berkenan anaknya diberi suntikan vaksin sejumlah yang seharusnya. Anak-anak ini dapat diberikan OPV saja untuk dosis ketiga dan keempat atau kedua-duanya; pada situasi seperti ini petugas kesehatan sebaiknya memberikan penjelasan sebelum meneteskan OPV akan risiko kemungkinan terjadinya paralisis yang berkaitan dengan vaksin vaccine associated paralytic polio (VAAP) kepada orang tuanya atau kepada yang mengasuh. Harus diantisipasi bahwa ketersediaan OPV dimasa yang akan datang di Amerika Serikat akan sangat terbatas. Di negara berkembang WHO merekomendasikan pemberian OPV pada usia 6, 10 dan 14 minggu. Di negara endemis polio, dosis tambahan OPV direkomendasikan untuk diberikan pada waktu lahir (OPVo).
Di negara endemis polio, WHO menganjurkan dilakukan Kampanye Imunisasi Nasional (National Immunization Campaign) dengan memberikan 2 dosis OPV dengan interval 1 bulan kepada semua anak umur kurang dari 5 tahun tanpa melihat status vaksinasi sebelumnya. Kampanye ini sebaiknya diselenggarakan pada musim dingin dan musim kering untuk mendapatkan dampak yang maksimum. Apabila tingkat penanggulangan yang telah tercapai di suatu negara sudah baik, maka kampanye imunisasi dengan target hanya daerah risiko tinggi saja dapat dilakukan.
Catatan: Indonesia telah melaksakan kampanye Pekan Imunisasi Nasional  (PIN) untuk polio berturut-turut pada tahun 1995, 1996, 1997 dan diulang lagi pada tahun 2000.
Kontraindikasi pemberian OPV antara lain imunodefisiensi kongenital (B-lymphocyte deficiency, thymic dysplasia), terapi imunosupresif (HIV/AIDS, lymphoma, leukemia, penyakit keganasan lain) dan orang dengan imunodefisiensi dalam keluarga (IPV sebaiknya diberikan kepada orang ini). Namun demikian di daerah dimana polio masih merupakan masalah, WHO merekomendasikan pemakaian OPV bagi bayi yang kemungkinan terinfeksi dengan HIV. Diare tidak dianggap sebagai kontraindikasi untuk pemberian OPV.
Pada saat OPV merupakan vaksin yang direkomendasikan untuk dipakai, maka polio paralitik yang terjadipada penerima vaksin atau kontak yang sehat mencapai angka 1 per 2,5 juta dosis di Amerika Serikat. Di Rumania pemberian suntikan antibiotika  yang berulangkali  dikaitkan dengan peningkatan  risiko terjadinya vaccine associated poliomyelitis. Imunisasi pada orang dewasa, imunisasi rutin untuk orang dewasa yang tinggal di daratan Amerika Serikat dan Kanada tidak diangap perlu. Namun imunisasi dasar perlu diberikan kepadaorang dewasa yang sebelumnya belum pernah mendapatkan imunisasi yang merencanakan untuk bepergian ke negara endemis polio. Imunisasi juga perlu diberikan kepada anggota masyarakat atau kelompok masyarakat dimana virus polio masih ditemukan, untuk petugas laboratorium yang menangani spesimen yang mengandung virus polio dan kepada petugas kesehatan yang kemungkinan terpajan dengan kotoran penderita yang mengandung virus polio liar. IPV direkomendasikan untuk imunisasi dasar pada orang dewasa yaitu 2 dosis dengan  interval 1-2 bulan dan dosis ketiga diberikan 6 -12 bulan kemudian. Untuk orang yang sebelumnya telah mendapat imunisasi lengkap dan sekarang mempunyai risiko yang tinggi untuk terpajan dapat diberikan dosis tambahan IPV.
B.   Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1)   Laporan kepada otoritas kesehatan setempat: Wajib dilaporkan setiap ditemukan adanya kasus kelumpuhan. WHO menyebutnya sebagai Disease Under Surveillance, Kelas 1A. Di negara yang sedang melaksanakan program eradikasi polo, setiap kasus paralisis akut yang bersifat layuh (Accute Flaccid Paralysis (AFP)), termasuk Guillain-Barre Syndrome, pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun harus segera dilaporkan. Hasil kultur virus dari tinja, informasi demografis, riwayat imunisasi, hasil pemeriksaan klinis serta pemeriksaan gejala sisa kelumpuhan setelah 60 hari harus disertakan dalam laporan tambahan. Riwayat imunisasi dan nomor lot vaksin harus dicatat. Kasus non paralitik harus dilaorkan juga kepada instansi kesehatan setempat, Kelas 2 A (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2)   Isolasi: Lakuan tindakan kewaspadaan enterik di rumah sakit untuk penderita yang disebabkan virus liar. Isolasi di lingkungan rumah tangga kurang bermanfaat oleh karena banyak angota keluarga sudah terinfeksi sebelum poliomyelitis dapat didiagnosa.
3)   Disinfeksi serentak: Lakukan disinfeksi terhadap discharge tenggorokan. Pada masyarakat dengan sistem pembuangan kotoran yang modern dan memadai, tinja dan urin dapat dibuang langsung ke dalam sistem pembuangan tinja tanpa dilakukan disinfeksi terlebih dahulu. Pembersihan menyeluruh.
4)   Karantina: Tidak begitu bermanfaat.
5)   Perlindungan terhadap kontak: Pemberian imunisasi kepada keluarga dan kontak dekat lainnya dianjurkan namun upaya ini tidak memberikan kontribusi langsung dalam pemberantasan KLB yang terjadi; sering virus telah menginfeksi kontak dekat yang rentan pada saat kasus pertama kali ditemukan.
6)   Investigasi kontak dan sumber infeksi: Walaupun hanya ditemukan satu kasus paralitik pada suatu komunitas harus segera dilakukan investigasi. Pencarian secara cermat kasus-kasus tambahan AFP pada daerah sekitar penderita sebagai bukti kemampuan melakukan deteksi dini. Penemuan kasus-kasus tambahan secara dini akan mempermudah upaya pemberantasan dan pengobatan terhadap kasus-kasus yang tidak dilaporkan.
7)   Pengobatan spesifik: Tidak ada. Untuk perawatan bagi penderita polio akut dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang baik serta peralatan yang memadai terutama bagi penderita yang membutuhkan bantuan alat bantu pernafasan. Fisioterapi sangat bermanfaat untuk memulihkan fungsi tubuh setelah mengalami kelumpuhan akibat poliomyelitis dan dapat mencegah terjadinya deformitas yang biasanya muncul belakangan.
C.   Cara-cara Penanggulangan Wabah: Di negara-negara yang sedang melaksanakan eradikasi polio, ditemukan satu kasus poliomyelitis saja sudah dianggap sebagai KLB. Dari hasil investigasi KLB, otoritas kesehatan dapat menentukan apakah perlu dilakukan program pemberian imunisasi tambahan.
D.  Implikasi bencana: Kepadatan hunian, berkumpulnya mereka yang rentan di suatu tempat seperti pada tempat-tempat penampungan pengungsi dan rusaknya infrastruktur sanitasi mempermudah terjadinya KLB.
E.   Tindakan Internasional
1)   WHO memasukkan poliomyelitis sebagai Disease under surveillance yaitu penyakit yang diamati terus dan ditargetkan untuk dieradikasi pada akhir tahun 2000. WHO meminta setiap Negara melaporkan segera apabila terjadi KLB di Negara mereka. Laporan lengkap tentang KLB ini dapat disusulkan kemudian. Isolasi virus dapat dilakukan di laboratorium yang ditunjuk. Dan laboratorium ini sudah diakreditasi sebagai bagian dari Global Polio Eradication Laboratory Network (Jaringan Laboratorium Global untuk eradikasi polio). Begitu virus dapat diisolasi maka dengan menggunakan pendekatan epidemiologi molekuler maka dapat dilacak sumber terjadinya KLB. Tiap negara diwajibkan mengirimkan laporan setiap bulan ke kantor WHO Regional, dimana negara tersebut menjadi anggota.
PAHO (Pan American Health Organization) mentargetkan tercapainya eradikasi polio di benua Amerika pada akhir tahun 1990. Komisi Independen Internasional telah dibentuk untuk menilai apakah target ini suah tercapai apa belum. Komisi menyimpulkan dan memberikan sertifikasi bebas polio untuk benua Amerika, karena tidak ditemukan lagi penderita polio indegenous sejak bulan Agustus 1991.
2)        Para pelancong yang mengunjungi negara endemis polo hendaknya diberi imunisasi.
3)        Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar